Melihat Diri Sendiri
Di lain pihak, minat untuk menjadi TA begitu besar. Maklum, selain bisa banyak belajar, gaji dan tunjangannya lumayan untuk menyambung hidup. Di samping itu, bebas uang kuliah. Tempaan terbesar bagi seorang kandidat doktor sebenarnya bukan di dalam kelas, tetapi bagaimana mengelola hidupnya agar tahan banting sampai semuanya selesai. Maka wajar kalau posisi TA selalu menjadi rebutan, dan yang sudah menggenggamnya masih harus berupaya keras mempertahankannya.
Seperti kandidat TA lainnya, saya harus mendapatkan lisensi. Artinya harus mengikuti serangkaian proses seleksi. Mulanya tes di lab. Di situ saja kesulitan sudah terasa. Kami diminta menjelaskan arti pohon, telepon, mobil dan sebagainya. Tak pernah terbayangkan oleh saya bagaimana menjelaskan benda-benda itu secara kreatif. Paling-paling kami hanya bisa mengatakan, pohon adalah tanaman yang ada daunnya, telpon adalah alat telekomunikasi, dan mobil untuk transportasi. Padahal setiap benda itu harus dijelaskan panjang lebar.
Di rumah, saya memperhatikan anak saya membuat karangan yang ditugaskan oleh gurunya di sekolah dasar. Saya sungguh terkejut karena ia bisa menjelaskan konsep benda-benda itu secara panjang lebar. Sementara saya adalah produk dari sebuah pendidikan hafalan, miskin dengan cerita, miskin dengan kemampuan mengungkapkan gagasan. Sejak itulah saya belajar, bahwa mengajar bukan cuma membuat definisi, tetapi membuat dunia ini lebih kaya dengan makna.
Meski dengan susah payah, toh akhirnya saya akhirnya lewat juga. Tetapi karena nilainya pas-passan harus melakukan appeal. Artinya minta diuji tim yang lebih besar. Pengujinya
Mengapa saya bisa selamat? Apakah karena sebelumnya saya sudah berpengalaman sebagai dosen? Dengan jujur harus saya jawab tidak.
Beberapa bulan sebelum peraturan untuk mendapatkan lisensi sebagai TA keluar saya pergi ke
Pelajaran paling berharga datang ketika ia membawa camcorder. Ia merekam seluruh isi presentasi saya, termasuk bahasa tubuh saya. Itulah kesempatan yang baik untuk melihat diri sendiri. Rekaman itu saya putar berulang-ulang. Guru saya memberi tahu bagian mana yang harus diperbaiki, dan saya mencoba menghayatinya. Kami memolesnya, bukan cuma sistematika dan logika, tetapi juga tone suara, speed, dan tentu saja bahasa tubuh, termasuk gerakan tangan, leher, dan pancaran mata. Melihat diri sendiri adalah alat yang sangat baik untuk memoles diri. Daripada menggunakan cermin, lebih baik merekamnya, cari guru yang mau mendengarkan dan memoles, lalu perbaiki perlahan-lahan. Kelak presentasi saudara akan jauh lebih baik dari hari ini.
0 comments:
Post a Comment