Guru & Tuntutan Kompetensi Profesi

Salah satu program kerja Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo yang akan diwujudkan awal bulan Desember ini adalah pencanangan dan pemantapan guru sebagai profesi. Melalui moto ”Guru sebagai Profesi” Depdiknas berencana untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus mengembangkan profesi guru sejajar dengan profesi lain yang dianggap ”terhormat” di tengah masyarakat.

Selama ini dalam anggapan masyarakat – khususnya masyarakat perkotaan, atau daerah yang wilayahnya telah mengalami kemajuan ekonomi – pekerjaan guru dianggap tidak menjanjikan masa depan. Bagi alumni perguruan tinggi, profesi guru hanyalah pekerjaan ”sambilan”, daripada sama sekali menganggur. Di daerah pedesaan yang tingkat kecerdasan rata-rata masyarakat masih ”rendah” guru dihormati, namun penghargaan tersebut terasa semu. Karena masyarakat akan jauh menghormati elite desa yang lebih kaya secara materi dan berkuasa dalam pemerintahan di desa.

Gagasan mendiknas Bambang Sudibyo untuk memantapkan ”guru sebagai profesi” merupakan gagasan yang konstruktif bagi peningkatan profesionalisme guru Indonesia yang selama ini sangat memprihatinkan. Para guru di Indonesia – yang merupakan komponen inti pembelajaran di sekolah – dalam dua dekade terakhir semakin dihanyuti kultur pragmatisme.

Kultur kemalasan untuk terus belajar mengembangkan ilmu dan wawasan sosial, kultur aji mumpung dengan terlibat praktik ”korupsi” kecil-kecilan di sekolah (memberi les privat dengan kompensasi ”uang” dan nilai, aktif sebagai makelar buku-buku pelajaran, hingga bisnis seragam siswa), serta kultur ”birokratis” yang begitu patuh kepada atasan dan birokrat pendidikan agar cepat naik pangkat. Serta banyak perilaku subjektif lain yang tidak mencerminkan karakter ”ideal” sebagai sosok pendidik dan pengajar yang seharusnya berintegritas tinggi.

Gagap Beradaptasi

Kualitas guru-guru di Indonesia – khususnya yang berstatus PNS dan guru sekolah swasta yang ”hidup segan mati tak mau” – juga saat ini berada dalam titik ”rendah”. Para guru tidak hanya gagap dalam beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan fenomena sosial kemasyarakatan, mereka juga terjebak dalam kebiasaan menjadi ”robot” kurikulum pendidikan. Prakarsa dan inisiatif para guru untuk belajar menggali metode, bahan ajar dan pola relasi belajar-mengajar yang baru sangat minimalis.

Tidak mengherankan ketika Depdiknas merekonsepsikan dan mengimplementasikan kerangka kurikulum pembaruan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), banyak guru yang sangat sulit memahami. Banyak yang menggerutu dan beranggapan KBK hanya sebagai wujud kurikulum yang ”ngayawara” (tidak realistik).

Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, selama ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara.

Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan.

Kedua, kuatnya politik pendidikan, yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar karena selalu mengurusi persoalan ekonomi keluarga. Keempat, kuatnya kultur feodalistik dalam dunia pendidikan, sehingga tidak terjadi proses ”social clustering” dan regenerasi ekslusif komunitas guru muda.

Pola regenerasi bukan atas dasar kemampuan akademik dan kemampuan mengajar guru, namun level kepangkatan. Pemerintah selama ini tidak memiliki kerangka acuan untuk meningkatkan kualitas sosial dan intelektual para guru. Berbagai upaya internal di birokrasi pendidikan yang konon untuk meningkatkan kapabilitas profesi guru, justru lebih banyak pada kegiatan pembinaan dan pendisiplinan guru dalam optik pemahaman kekuasaan. Para guru dibina dan didisiplinkan pengetahuan, dan sikapnya selaras dengan kehendak penguasa, agar tidak mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan doktrin negara.

20 Persen APBN Mem-”profesi”-kan guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial, yakni: pertama, guru harus mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara bijaksana dan bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru saat ini tengah menjadi wacana di masyarakat dan RUU Guru yang memuat pasal-pasal kode etik guru tengah diperdebatkan oleh berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan.

Kedua, para guru dituntut untuk memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai fungsi dan perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi pengetahuan, penguasaan kemampuan ajar dan pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak didik-guru-masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki. Ketiga, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesi. Yakni dalam hal skill atau kemampuan sebagai pengajar dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam menyerap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam dinamika kehidupan nyata.

Untuk mewujudkan guru sebagai profesi, pemerintah – khususnya pembuat kebijakan dan otoritas pendidikan – memiliki tanggung jawab yang berat, yakni berkewajiban memfasilitasi proses dan aktivitas pengembangan keahlian profesi guru melalui kegiatan pelatihan (workhsop), penyebaran informasi, penyuluhan dan pembimbingan akademik dan karier. Andaikata kelak UU Sisdiknas menyatakan 20% pengeluaran APBN diperuntukkan bagi bidang pendidikan, maka pengalokasiannya lebih untuk kegiatan pengembangan keahlian profesi guru ketimbang untuk peningkatan tunjangan gaji.

Bagi kalangan guru sendiri mereka memiliki beban untuk menghilangkan kultur feodalistik, pragmatisme dalam relasi dan proses pembelajaran. Para guru harus pula memiliki semangat untuk berubah dan mengubah kondisi dunia pendidikan nasional yang memprihatinkan dalam segala hal. Jika tidak, maka idiom ”guru sebagai profesi” hanya akan terus di awang-awang. (Ari Kristianawati/SINARHARAPAN)



Artikel Terkait:

0 comments:

Tips Menghindari Penipuan Berkedok Asuransi

Pemilik (Cadangan) Emas Terbesar Dunia, Indonesia Di nomor 37

Mengintip Tips Perjalanan Para Eksekutif Bisnis

Blue Ocean Strategy

Tips Membeli Emas Batangan, Emas Perhiasan & Emas Putih

Sales People: Amatir VS Professional

7 Kesalahan Terbesar dalam Marketing

Keterampilan Dasar Sales: Sudahkah Anda Miliki?

10 Konsep Marketing untuk Usaha Kecil

Peluang Usaha di Tahun 2010 yang Bakal Exis

8 Point Sederhana untuk Merebut Peluang Bisnis

9 Langkah Sukses Entrepreneur

10 Cara Efektif Mengurangi Hutang-Hutang Anda

Wanita-Wanita Berpengaruh dalam Bisnis

Kiat Sukses Usaha Waralaba

Bagaimana Mendanai Usaha?

Mengapa Hanya Sedikit Orang yang Sukses ?

Investasi di Bisnis Online, Kenapa Tidak?

Tak Takut Kaya, Tak Takut Miskin

Membuat Pelanggan Senang Berbelanja di Toko Anda

Tips Meningkatkan Pendapatan Adsense

Kunci Menuju Great Customer Service

Menciptakan Service Excellence Untuk Layanan Online

4 Kunci Utama dalam Melayani Pelanggan

Mengenali Faktor-faktor Kepuasan Pelanggan

Cara Memasarkan Produk Bisnis Online

Tips Bisnis Online Pemula :)

Tips Memulai Usaha Makanan

Tips Membangun Bisnis Cafe

Karakteristik Pengusaha Sukses

7 Tips Menjalankan Peluang Usaha Rumahan

Sukses Mengelola Wirausaha/Bisnis Online

Tips Cerdas dan Aman Memilih Asuransi

Tips Ampuh Menghapus Hutang Kartu Kredit

Tips Cerdas Menjadi Seorang Jutawan

5 Aspek Kesuksesan

5 Hukum Investasi Sepanjang Masa

Usaha Dengan Modal di Bawah 1 Juta

Pilih Investasi yang Menguntungkan

Inilah Siklus Karir Anda

4 Modal Menjadi Entrepreneur (Ternyata Bukan Uang)

Bagaimana Menjadi Komunikasi Yang Handal

Bodoh VS Pintar ala Bob Sadino

Contoh Usaha Mandiri

Apakah Mimpi Anda di Dalam Hidupmu?

How To Start a Business

Pilih Cara Mana Menerjuni Dunia Bisnis?

Memulai Usaha Sendiri

Cara Mem-Franchise-kan Usaha Anda