Guru & Tuntutan Kompetensi Profesi

Selama ini dalam anggapan masyarakat – khususnya masyarakat perkotaan, atau daerah yang wilayahnya telah mengalami kemajuan ekonomi – pekerjaan guru dianggap tidak menjanjikan masa depan. Bagi alumni perguruan tinggi, profesi guru hanyalah pekerjaan ”sambilan”, daripada sama sekali menganggur. Di daerah pedesaan yang tingkat kecerdasan rata-rata masyarakat masih ”rendah” guru dihormati, namun penghargaan tersebut terasa semu. Karena masyarakat akan jauh menghormati elite desa yang lebih kaya secara materi dan berkuasa dalam pemerintahan di desa.
Gagasan mendiknas Bambang Sudibyo untuk memantapkan ”guru sebagai profesi” merupakan gagasan yang konstruktif bagi peningkatan profesionalisme guru Indonesia yang selama ini sangat memprihatinkan. Para guru di Indonesia – yang merupakan komponen inti pembelajaran di sekolah – dalam dua dekade terakhir semakin dihanyuti kultur pragmatisme.
Kultur kemalasan untuk terus belajar mengembangkan ilmu dan wawasan sosial, kultur aji mumpung dengan terlibat praktik ”korupsi” kecil-kecilan di sekolah (memberi les privat dengan kompensasi ”uang” dan nilai, aktif sebagai makelar buku-buku pelajaran, hingga bisnis seragam siswa), serta kultur ”birokratis” yang begitu patuh kepada atasan dan birokrat pendidikan agar cepat naik pangkat. Serta banyak perilaku subjektif lain yang tidak mencerminkan karakter ”ideal” sebagai sosok pendidik dan pengajar yang seharusnya berintegritas tinggi.
Gagap Beradaptasi

Tidak mengherankan ketika Depdiknas merekonsepsikan dan mengimplementasikan kerangka kurikulum pembaruan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), banyak guru yang sangat sulit memahami. Banyak yang menggerutu dan beranggapan KBK hanya sebagai wujud kurikulum yang ”ngayawara” (tidak realistik).
Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, selama ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara.
Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan.
Kedua, kuatnya politik pendidikan, yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar karena selalu mengurusi persoalan ekonomi keluarga. Keempat, kuatnya kultur feodalistik dalam dunia pendidikan, sehingga tidak terjadi proses ”social clustering” dan regenerasi ekslusif komunitas guru muda.
Pola regenerasi bukan atas dasar kemampuan akademik dan kemampuan mengajar guru, namun level kepangkatan. Pemerintah selama ini tidak memiliki kerangka acuan untuk meningkatkan kualitas sosial dan intelektual para guru. Berbagai upaya internal di birokrasi pendidikan yang konon untuk meningkatkan kapabilitas profesi guru, justru lebih banyak pada kegiatan pembinaan dan pendisiplinan guru dalam optik pemahaman kekuasaan. Para guru dibina dan didisiplinkan pengetahuan, dan sikapnya selaras dengan kehendak penguasa, agar tidak mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan doktrin negara.
20 Persen APBN Mem-”profesi”-kan guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial, yakni: pertama, guru harus mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara bijaksana dan bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru saat ini tengah menjadi wacana di masyarakat dan RUU Guru yang memuat pasal-pasal kode etik guru tengah diperdebatkan oleh berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan.
Kedua, para guru dituntut untuk memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai fungsi dan perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi pengetahuan, penguasaan kemampuan ajar dan pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak didik-guru-masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki. Ketiga, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesi. Yakni dalam hal skill atau kemampuan sebagai pengajar dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam menyerap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam dinamika kehidupan nyata.

Bagi kalangan guru sendiri mereka memiliki beban untuk menghilangkan kultur feodalistik, pragmatisme dalam relasi dan proses pembelajaran. Para guru harus pula memiliki semangat untuk berubah dan mengubah kondisi dunia pendidikan nasional yang memprihatinkan dalam segala hal. Jika tidak, maka idiom ”guru sebagai profesi” hanya akan terus di awang-awang. (Ari Kristianawati/SINARHARAPAN)
Artikel Terkait:
Tips Dunia Kerja
- 7 Hal Yang Dapat Membunuh Karir Anda
- Pilih Bekerja atau Usaha, Ya?
- Bagaimana Cara Menghilangkan Kemalasan?
- Rahasia Tetap Fit di Tempat Kerja
- Trik Minta Naik Gaji Sesuai Zodiak
- 10 Kalimat Yang Tidak Boleh di Ucapkan di Kantor!
- 10 Pekerjaan Yang Butuh Kebohongan
- 13 Hal Yang Dilarang Untuk Diceritakan ke Teman Kantor Anda
- 8 Pertanyaan Wawancara yang Penuh Jebakan
- 5 Tanda Rekan Kerja Yang Tidak Bersahabat
- Alasan Mengapa Gaji Selalu Tidak Bersisa
- Inilah Keterampilan Pribadi Menjadi Daya Pikat Perusahaan
- Cara Nego Gaji Yang Baik
- 8 Cara Jitu Hindari PHK
- 5 Langkah Mudah Kurangi Stres di Tempat Kerja
- Jurus Jitu Memotivasi Karyawan yang Dilanda Bosan
- 7 Alasan Pindah Kerja
- 10 Kualitas Pribadi yang Disukai
- Strategi Pintar Meminta Kenaikan Gaji
- 10 Tanda Saatnya Anda Resign
- 7 Tips Memulai Hari di Kantor Dengan Baik
- 12 Cara Untuk Bisa Fokus Dalam Bekerja
- Tips Sukses Donald Trump
- Cara Hadapi Kritik dengan Tepat!
- 3 Kesalahan Terbesar Yang Wanita Lakukan Dengan Uang Mereka
0 comments:
Post a Comment